Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Cerpen: DUA SAHABAT

Rama dan Soleh sudah berkawan sejak kecil. Mereka saling melengkapi dan berbagi segalanya sebab dunia mereka jauh berbeda. Rama adalah anak dari sepasang konglomerat yang begelimangan harta, sementara Soleh hidup dalam kesederhanaan. Rama bisa menikmati indahnya dunia, sementara Soleh hidup dalam kegelapan sebab ia tuna netra sejak lahir.  Mulanya, Ibu Soleh bekerja di rumah Rama sebagai asisten rumah tangga. Rama yang sehari-harinya hidup sendiri sebab orang tuanya sibuk bekerja menjadi gembira mendapatkan seorang teman. Ketika orang tua Rama belum pulang hingga larut malam, ia ikut bersama Soleh dan ibunya hingga orang tuanya datang menjemput.  Dari situ, Rama merasakan kehidupan yang berbeda. Bukan karena rumah dan makanan yang sederhana, tetapi keluarga Soleh yang amat harmonis. Rama merasa sangat hangat dan tenteram di rumah Soleh. Ia sangat berharap mendapatkan keluarga yang seperti itu, orang tua yang selalu ada saat dibutuhkan dan waktu yang selalu dihabiskan bersama-sama.  Ram

Cerpen: BINTANG

Jauh di sebuah kota asing, dua orang laki-laki saling bersitatap. Yang satu masih seumuran remaja lulus SMA, yang satu lagi kira-kira usianya sekitar kepala empat. Kebisuan merayap di antara mereka meski deru kendaraan lantang mendominasi. Suara tukang parkir memandu ibu-ibu keluar dari toko. Suara penjaja sandal, baju serba murah, dan kenek bus begitu menghidupkan suasana kota.  Lelaki remaja itu menatapnya dengan girang sambil memasang senyum yang gamang. Bibirnya bergetar, ingin sekali memanggil lelaki di hadapannya yang bertahun-tahun tak pernah dilakukan, tetapi lelaki berkepala empat itu justru buru-buru menoleh, kemudian menjauh. Entah pergi ke mana lagi kali ini.  Jauh sebelum itu, ada satu hal yang terus terngiang. Perasaan rindu yang rajin membangunkannya dari tidur. Sekeping tanya selalu bergelayutan dalam selembar poto yang kini digenggamnya. Ia tak mungkin salah orang. Demi bertemu dengan lelaki itu, ia rela jauh dari kampung. Puluhan kilo ia tempuh, di tengah terik mataha

Cerpen Puisi: RUMAH

 #Cinta_CerPus #Cerpen #Puisi RUMAH oleh Firman Fadilah Jumkat 800+ Di teras rumah tua itu, Kakek Dul termenung, seolah ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Ditatapnya langit senja dengan awan setipis tisu. Kerut di keningnya makin bertumpuk, menggambarkan hari-harinya yang kian murung. Suara kendaraan yang lalu-lalang ramai mengusik suasana, tetapi suara deru itu hanya kebisingan belaka yang tak mampu menepis berbagai kegundahan dalam dadanya.  Sebagai seorang tua yang tinggal sendiri, seharusnya ini adalah waktu yang paling tepat untuk menikmati kehidupan. Setelah istrinya meninggal, lalu ke lima anaknya menikah dan pergi merantau, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya telah dewasa dan mandiri. Tugasnya sebagai orang tua telah selesai. Kini, ia hanya perlu memperbaiki diri dan menunggu anak-anak dan cucu-cucu kembali menjenguknya. Namun, kegundahan yang tergambar pada garis retak di pipi dan keningnya tak mungkin bisa disembunyikan. Seminggu yang lalu, seorang kontraktor menya

Cerpen: KOPLO

"Goyang lagi ahhh!!" Jamilah berteriak di atas panggung, mencoba untuk mencuri perhatian penonton di bawahnya.  "Goyang lagiii!" Penonton seketika menyahut serempak seolah-olah tak tahan lagi untuk segera mendengar suara merdu dari bibir Jamilah yang tipis dan merah seksi. Atau barangkali mereka juga ingin melihat pinggul Jamilah yang patah-patah saat bergoyang. Pantatnya yang kenyal berlenggak-lenggok segera menciptakan kepuasan tersendiri. Juga buah dadanya yang ranum seakan hendak jatuh dari atas panggung.  Saat kendang ditabuh, kaki kanan Jamilah yang putih dan jenjang diangkat ke atas sound system di sisi panggung. Ia memainkan sepatunya yang tinggi. Lalu, seruling pun mengalun merdu. "Tangan di atas semua yokkk!" Seketika itu para penonton langsung riuh dan serempak mengangkat tangan dengan satu irama umpama telah terhipnotis oleh liukan badan Jamilah yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Di bawah panggung, para penonton goyang tak beraturan. Ada yang

Cerpen: MALAM BERDARAH

 Disclaimer : cerita mengandung gore. 18++ Jam 01:10 [Belum tidur?] pesan dari Ken, kawan satu kelasku. Perasaan ganjil muncul tiba-tiba. Sebelumnya, ia jarang mengirim pesan, terlebih untuk hal basa-basi seperti ini. Biasanya, kami hanya berbalas pesan untuk membahas pertandingan sepak bola. Pesan sudah telanjur kubaca, tak mungkin kuabaikan.  [Belum,] balasku. [Kenapa?] Malam itu, entah mengapa mataku enggan terpejam. Beberapa cerita pendek telah selesai kubaca untuk membuat mataku lelah, kemudian terkatup. Namun, semakin banyak kata-kata yang kubaca, mataku semakin terjaga.  Dadaku kian bergemuruh seperti ada ketakutan yang mengintai di balik jendela. Angin berkesiur, membuat ranting dan daun-daun saling bergesekan. Suara-suaranya menjadi aneh seolah suara seseorang yang merintih-rintih mencari pertolongan. Terlebih, tidak ada orang di rumah. Orang tuaku pergi ke luar kota. Ketakutan kian mencekam. Keningku berpeluh.  [Aku nggak bisa tidur, Jo.] [Sama.] [Aku masih belum bisa move on

Cerpen: ADA CINTA DI GEDUNG TEATER

Sekolah kami memiliki gedung aula yang besar. Di dalamnya, ada panggung yang biasa digunakan untuk mempertontonkan berbagai macam pertunjukan karya seni. Tari, teater, musik, dan acara-acara besar seperti perayaan perpisahan.  Lampu-lampu kecil menghiasi di setiap sudut. Background dicat dengan warna putih yang mendominasi. Aula itu tertutup yang membuat suara-suara memantul-mantul. Pita warna-warni menggantung di atas daun jendela.  Aku ingat betul pertunjukan teater tokoh pasangan wayang yang melegenda, Rama dan Sinta. Pameran karya setiap setahun sekali yang wajib diadakan sebagai bukti kepada para orang tua bahwa siswa-siswi didikan kami mempunyai prestasi.  Sebelumnya, sebagai guru seni, aku memilih para pemain yang akan melakonkan masing-masing peran. Mereka sangat antusias menyambut pertunjukan teater agung itu. Ada satu siswa yang sangat jenaka, jahil, pula terkenal nakal. Mengingatnya, aku tertawa juga bangga sebab totalitas aktingnya membuat pertunjukan teater itu memesona. &

Cerpen Mini: TAMAN CINTA

Gambar
Image by Canva  “Kenapa kau mengajakku ke sini, Ray?” tanya Helga dengan senyum manja. Sebenarnya, tanpa ditanya pun Helga sudah tahu. Ray akan melamarnya. Helga tahu bahwa Ray menyembunyikan sesuatu di dalam saku celana levisnya—cincin. “…,” Ray diam sambil lamat-lamat menatap sinar mentari seranum emas yang mulai redup di sela-sela bukit eksotis Taman Cinta. “H—ah!” Ray mengembuskan nafas panjang layaknya melepaskan beban yang telah mengganggu kejernihan pikirannya selama ini. Tergambar jelas rona kesedihan di wajah Ray seolah-olah akan datang suatu kejadian luar biasa yang mampu membuatnya hancur berkeping-keping. Ray perlahan menarik tangan kanannya dari saku celana. Tampak mengkilat cincin emas cantik tersemat di sela jari manisnya. Meneteslah setitik air mata panas dari mata indah Ray. Bibir bergetar merangkai kata, tetapi tampaknya kata-kata telah kehilangan makna. “Maaf, Helga sayang. Kisah cinta kita cukup sampai di sini saja. Kita tidak bisa bersama!” ucap Ray dipenuh

SI LELEMBUT

Gambar
Image by Canva Melihat Rangga berbicara sendiri, tertawa sendiri, ngobrol sendiri padahal tidak ada orang di dekatnya, bukanlah hal aneh bagi teman-temannya. Gila? Tidak, dia normal tapi tidak normal. Dia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki orang lain pada umumnya. Kemampuan yang mungkin impian semua orang atau mungkin juga dibenci oleh sebagian orang. Ya, kemampuan supranatural atau indra ke enam. Kemampuan yang bisa melihat hal-hal gaib atau makhluk halus di sekitarnya. Bermula ketika dia berziarah ke makam kakeknya lima tahun silam. Kuburan sepi, hanya ada hamparan batu nisan dan guguran bunga kamboja. Bersama ibunya dia menyusuri setiap makam, mencari makam kakeknya yang dibantu oleh juru kunci kuburan. Sudah dua warsa dia tidak berziarah ke makam kakeknya semenjak dia pindah sekolah di jakarta. Seperti tradisi yang berjalan di masyarakat, sebelum berpuasa mereka berziarah, mendoakan arwah leluhur mereka. Tempat ini telah banyak berubah. Makam yang semula jarang—tidak padat, k

JEMARI BERTUNAS

Gambar
Image by Canva Jubaedah naik pitam mendengar warta tentang kenakalan anaknya di sekolah. Ia mendapat surat panggilan dari Kepala Sekolah pagi ini. Dengan wajah merah kesumba, ia melangkah menyeruak pintu kayu dan membantingnya hingga atap ikut bergetar. "Anak kurang ajar!" racaunya sambil terus mengayunkan kaki beralas sandal karet tipis. *** "Jadi, apa kesalahan yang telah anak saya buat, Bu?" "Kemarin dia berantem, tak memakai sepatu, baju dikeluarkan, bolos, jajan saat jam pelajaran, gak ngerjain tugas, tidur di kelas, makan di kelas, kentut di kelas, gangguin anak-anak perempuan sampai nangis, malak uang jajan adik kelas, coret-coret dinding, dan masih banyak lagi, Bu. Buku CKS (Catatan Kriminal Siswa) sampai penuh dengan nama anak Ibu," Bu Kepala Sekolah menjelaskan secara detail tanpa terselip kealpaan. "Hari ini dia tidak memakai topi dan tidak memakai dasi. Kuku-kukunya juga sangat panjang dan hitam. Ih! Teman-temannya sampai ketak