JEMARI BERTUNAS


Jubaedah naik pitam mendengar warta tentang kenakalan anaknya di sekolah. Ia mendapat surat panggilan dari Kepala Sekolah pagi ini. Dengan wajah merah kesumba, ia melangkah menyeruak pintu kayu dan membantingnya hingga atap ikut bergetar.

"Anak kurang ajar!" racaunya sambil terus mengayunkan kaki beralas sandal karet tipis.

***

"Jadi, apa kesalahan yang telah anak saya buat, Bu?"

"Kemarin dia berantem, tak memakai sepatu, baju dikeluarkan, bolos, jajan saat jam pelajaran, gak ngerjain tugas, tidur di kelas, makan di kelas, kentut di kelas, gangguin anak-anak perempuan sampai nangis, malak uang jajan adik kelas, coret-coret dinding, dan masih banyak lagi, Bu. Buku CKS (Catatan Kriminal Siswa) sampai penuh dengan nama anak Ibu," Bu Kepala Sekolah menjelaskan secara detail tanpa terselip kealpaan.

"Hari ini dia tidak memakai topi dan tidak memakai dasi. Kuku-kukunya juga sangat panjang dan hitam. Ih! Teman-temannya sampai ketakutan melihat kuku-kuku hitam dan panjang itu. Apa Ibu sangat sibuk di rumah hingga tak sempat memotong kuku anak Ibu?"

"Maklumlah, Bu. Saya kan sudah tak bersuami—sudah bercerai ketika anak saya umur enam tahun—jadi suka pulang malem buat nyari sesuap nasi," ucap Jubaedah dengan tatapan memelas.

"Iya, Bu, bisa dimaklumi," balas Bu Kepala Sekolah penuh toleransi.

"Tapi ada sedikit kejanggalan yang saya rasa, Bu." Bu Kepala Sekolah menatap Jubaedah serius. Mata mereka saling tatap penuh khidmat. Suasana hening seketika. Selang beberapa detik, suara cicak menguar—mengisi keheningan, juga sebagai tanda agar aktifitas di siang hari harus disudahi.

"Apa itu, Bu?" Jubaedah dikuasai rasa penasaran.

"Tadi, sekitar pukul sebelas, wali kelasnya dengan penuh tanggung jawab memotong kuku-kuku anak Ibu. Namun, kuku-kuku itu terus tumbuh setelah dipotong. Bagaikan cacing pipih, makin dibelah makin banyak," jelas Bu Kepala Sekolah.

"Ah, tidak mungkin. Mana ada hal semacam itu! Saya hanya manusia biasa, begitu juga dengan anak saya, Bu. Ah, jangan-jangan ini prank." Jubaedah mengernyitkan dahi, menatap jauh ke luar jendela, dan tersenyum kecil—tanda sanggahan.

"Ya sudah jika Ibu tidak percaya, toh, Dia itu anak Ibu sendiri. Tapi Ibu nggak usah khawatir. Setelah usaha maksimal dan persetujuan antara anak Ibu dan kami selaku guru, masalah itu bisa diatasi."

"Oh, ya?!" Jubaedah terkesiap. "Lalu di mana anak saya, Bu. Ini sudah jam pulang sekolah, kan? Sekalian saya mau pulang degannya," tanya Jubaedah.

"Itu di belakang Ibu," jawab Kepala Sekolah.

Jubaedah menoleh dengan senyum yang terpaksa ia sunggingkan. Ia berusaha menahan amarah di hadapan Kepala Sekolah atas perlakuan anaknya yang telah mempermalukannya. Ia simpan rapat-rapat amarahnya sebelum—mungkin nantinya—ia akan meledakkannya di rumah.

"Astagfirullah!" Jubaedah mendelik, kaget, syok, vertigo, melotot, melongo, jantungan, stroke, darah tinggi, mata berkunang-kunang ketika melihat kuku-kuku anaknya terpotong rapi. Bukan hanya kuku-kukunya, tetapi juga jari-jari mungil anaknya terpangkas habis.

"Brukk!" Jubaedah pingsan.

"Waduh! Bagaimana ini, Ray," ucap Kepala Sekolah bingung menatap Ray dan Jubaedah.

"Bu! Bangun, Bu!" teriak Ray sambil menggoyahkan tubuh ringkih Ibunya.

"Tidak apa-apa, Bu! Kata Ayah jari-jari ini bisa tumbuh lagi."

End

Mei, 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)