Cerpen: BINTANG



Jauh di sebuah kota asing, dua orang laki-laki saling bersitatap. Yang satu masih seumuran remaja lulus SMA, yang satu lagi kira-kira usianya sekitar kepala empat. Kebisuan merayap di antara mereka meski deru kendaraan lantang mendominasi. Suara tukang parkir memandu ibu-ibu keluar dari toko. Suara penjaja sandal, baju serba murah, dan kenek bus begitu menghidupkan suasana kota. 


Lelaki remaja itu menatapnya dengan girang sambil memasang senyum yang gamang. Bibirnya bergetar, ingin sekali memanggil lelaki di hadapannya yang bertahun-tahun tak pernah dilakukan, tetapi lelaki berkepala empat itu justru buru-buru menoleh, kemudian menjauh. Entah pergi ke mana lagi kali ini. 


Jauh sebelum itu, ada satu hal yang terus terngiang. Perasaan rindu yang rajin membangunkannya dari tidur. Sekeping tanya selalu bergelayutan dalam selembar poto yang kini digenggamnya. Ia tak mungkin salah orang. Demi bertemu dengan lelaki itu, ia rela jauh dari kampung. Puluhan kilo ia tempuh, di tengah terik matahari yang mengeringkan tenggorokan di Bulan Ramadan. 


Tak pernah lepas dari perhitungannya, ikatan batin tak mungkin putus di antara sepasang anak dan orang tua, meski bertahun-tahun tak bersua, berpuluh-puluh kilometer jarak memasung. Maka, selepas meyelesaikan tujuan utamanya menaruh beragam amplop cokelat di beberapa perusahaan, ia tak buru-buru pulang. Sekali saja bertemu apa salahnya. 


Gedung-gedung kaca menjulang gagah. Suara-suara bercampur-baur terbawa angin. Ia sempatkan singgah sebentar di pasar sore yang menjual berbagai warna takjil. Dikeluarkannya smartphone. Satu-dua gambar diambil dari sudut paling presisi agar snap WhatsApp terlihat lebih menarik. Fenomena ramai yang tak pernah dilihat kalau bukan di Bulan Ramadan. Ia pun singgah sejenak di salah satu bangku panjang penjual gorengan. Ting! Satu pesan masuk. Dari ibunya.


"Kalau sudah selesai urusanmu pulang, ya. Masih sempat buka di rumah, kan?"


Remaja itu menjawab 'iya' dengan ragu. Rasa ingin segera pulang, berbuka puasa dengan seorang wanita yang bersusah-susah membesarkannya, tetapi perasaan untuk tinggal sebentar lagi lebih kuat. Ia masih penasaran, ke mana lelaki itu. Andai ia bisa telepati, tapi ikatan batin pun ada batasnya. 


Ingin sekali menceritakan bahwa ia baru saja bertemu seorang lelaki yang kerap kali ibunya bicarakan. "Ia seorang lelaki baik, gagah, dan bertanggung jawab. Ia tak pernah sedikit pun meleset tanggal untuk mengirim uang." Namun, bukan hanya itu, kan? Sebuah keluarga nyatanya butuh lebih dari sekadar uang. Seorang anak lelaki dengan bapaknya yang memiliki ego dan gengsi tinggi pun tetap butuh hangat kehadiran di tengah susah atau bahagia. 


Ibunya seolah tak pernah mempertanyakan lagi mengapa lelakinya tak pernah pulang meski jarak dari rumah tak butuh waktu sehari. Ia seolah cukup dengan uang yang terus dikirimkan setiap bulan. Namun, apalah arti uang dibanding hangat kebahagiaan melihat senyum kala jumpa?


"Kalau nggak keburu, aku buka di jalan, ok?" Tulisnya menutup percakapan. Terhitung sejak keberangkatan, berkali-kali ibunya memanggil, tetapi tak diangkatnya telepon itu. Tentu sebagai seorang ibu rasa cemas selalu menyertai, terlebih ini adalah kali pertama melepas anak sematawayangnya seorang diri.


Remaja itu beranjak saat kerumunan pembeli mulai padat. Semua mata memandang makanan penuh napsu, memilah mana yang cocok sebagai pelerai lapar dan dahaga. Saat itu, tak sengaja ia mencuri pandang seorang lelaki memakai topi dan jaket hitam melintas tepat di sampingnya. Kedua tangannya nyaman dalam saku jaket. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Seketika ingatan remaja itu terbang ke masa silam, lima belas tahun yang lalu. 


Ia seolah enggan kehilangan lagi. Maka buru-buru dipanggilnya lelaki itu dengan penuh harap.


"Bapak!" Suaranya pecah mengundang beberapa orang untuk menoleh, tetapi yang dipanggil 'Bapak' itu lebih paham. Barangkali perasaannya yang terlampau kuat. Ia menghentikan langkah dan berbalik arah, meraih tangan remaja yang kurus itu ke suatu tempat yang jauh dari kerumunan. Tepat di sebuah pohon cemara yang rindang tak jauh dari jalan raya, keduanya saling bertaut pandang. 


"Kenapa kamu ke sini?!" tanyanya tanpa basa-basi. 


Remaja itu salah besar. Ia pikir kedatangannya akan disambut hangat, tapi malah tatapan resah yang ia dapatkan. Ia bungkam, entah apa perlu pertanyaan itu dijawab. Tentu kedatangannya karena rindu, ingin ketemu, tapi nyatanya ia malah tak berkata demikian. Lelaki memang terkadang lebih mengutamakan ego dari perasaan. 


"Disuruh siapa kamu datang ke sini? Ibukmu?" 


Remaja itu kian asing di matanya. Tak disangka, orang yang selama ini dinanti telah berubah. Lengan pejalnya yang lebih kekar, otot-otot yang menyembul, berkali-kali lipat lebih kuat dari tulang kering kerempengnya. Ia tak bisa apa-apa saat tangannya dicekal. 


"Ng-gak, Pak. C-uman kebetulan lewat," tuturnya gagap. 


Lelaki yang pipinya mulai terlihat garis retak keriput itu melihat sekitar. Ketika tak dilihatnya orang menguping, ia mulai berbicara serius. 


"Dengar! Saya di sini kerja! Saya nggak mau diganggu!" 


Pertanyaan aneh tiba-tiba beterbangan. Mana Bapak yang katanya baik? Mana Bapak yang katanya bertanggung jawab? Yang dilihatnya kini tak lebih hanya seorang lelaki seperti yang kerap digambarkan saat ada berita kriminal di televisi. Keras, kasar, dan tak beraturan.


Rasa hormatnya kepada lelaki yang sering diagung-agungkan ibunya kian surut. Remaja itu mengepalkan tangan. Rasa marah tak tertahankan. Ingin sekali melemparkan jotos, tapi sayang tangannya terlampau ringkih. 


Ingin, ingin sekali menceritakan penderitaan ibu saat ia harus ke sana kemari untuk mencari pinjaman ketika dirinya menginjakkan kaki di sekolah. Saat, kakeknya meninggal dan rumah terpaksa dijual untuk membayar hutang. Saat ia berusaha keras belajar siang-malam untuk mendapatkan beasiswa demi keringanan biaya. Saat seorang lelaki kerap datang tiap malam ketika remaja itu di antar mengaji di surau. Saat ibunya selalu bilang tak perlu khawatir tentang uang. Nyatanya, uang yang dikirimkan hanya untuk melunasi sisa hutangnya saat kalah bertaruh. Itukah yang ibunya sebut tanggung jawab? Masih banyak lagi yang ingin diceritakan, tetapi bibirnya kelu oleh dendam. Ia tak bisa bicara, tercengang oleh realita. 


Lelaki berkepala empat itu merogoh kantong. Diangsurkannya selembar uang merah kepada remaja itu.


"Pulang!"


Ada satu lagi pertanyaan yang ingin sekali dapat jawaban, "B-apak kerja, apa?" Sayangnya, yang ditanya mengelak. Ia buru-buru pergi dan seolah tak ingin lagi ada seseorang yang mengetahui tujuannya. Beberapa langkah, sebelum terlalu jauh, ia mencopot topi hitamnya. Masker buff hitam dipakai sebagai gantinya yang hanya menyisakan dua biji mata yang bening tajam seperti parang. Lalu, lelaki itu melemparkan topinya dan dengan tangkas remaja lemah itu menangkapnya.


"Oh, ya! Satu lagi, Bintang. Bilang sama ibukmu, uangnya pasti saya kirim!"


Remaja itu termangu sepanjang perjalanan pulang di atas bus hijau yang melaju pelan-pelan. Lelaki itu bahkan masih ingat namanya, menyebutnya sekali lagi walau artikulasinya tak begitu jelas. Dalam buku catatan kecilnya selalu ia selipkan poto. Masihkah ada cinta di sana? Perasaan yang tumbuh jadi misteri. Apa Bapak masih sayang aku dan ibuk? Sunggguh, ia ingin sekali menanyakan itu.


"Anggap saja kita nggak pernah ketemu!" Kalimat terakhir yang diucap sebelum lelaki itu lenyap entah ke mana. Artinya, ia tak ingin siapa pun mengetahui bahwa mereka bertemu, termasuk ibunya. 


Di dalam bus, remaja itu tak urung menatap selembar poto, terlepas lelaki yang dengan senyum itu kini seolah adalah orang yang tak dikenalinya. Diraihnya ponsel. Beberapa kata dalam baris yang terpotong-potong ia kirimkan. 


"Bu, aku lagi di jalan. Mau pulang." 


Masih tersisa tiga jam perjalanan lagi. Dengan jarak dan waktu selama itu, ia tak sempat buka puasa di rumah. Seteguk air ia nikmati di antara burung-burung yang riang pulang ke sarang. Langit seutuhnya merah dan tiba-tiba memendarkan spektrum berbagai warna saat mata remaja itu berembun. Ia ingat lagi ketika namanya disebut, "Bintang." 


Tepat selepas salat tarawih, ketika Bintang baru saja membayar upah tukang ojek, ibunya diam membisu di depan televisi. Tak dibalasnya salam. Ia dikejutkan dengan berita penembakan seorang pengedar narkoba di kota. Kakinya lumpuh terkena timah panas. Nahas, nyawanya tak selamat. Namun, bukankah itu kabar gembira? Satu pendosa telah tewas. Artinya, kemunkaran bisa dikurangi. 


Bintang menghela napas. Ia remat kuat-kuat topi hitam pemberian lelaki itu sementara ibu membungkam mulutnya. Dibukanya ponsel yang dalam perjalanan ke rumah mengabarkan bahwa lusa ia dijadwalkan interview. Selalu ada kemungkinan untuk bertemu kembali meski kecil pun mustahil lelaki berkepala empat itu mau berbicara lagi. Namun, segalanya telah digariskan takdir. Harusnya ia yakin ini yang telah Tuhan gariskan. Toh, kita memang tidak bisa memilih nasib. Percuma berharap lebih.


Ruangan menyempit menjadi ingatan-ingatan jalang saat dirinya bertemu lelaki yang dulu amat ia sayangi. Reporter meliput tempat kejadian di sebuah pohon cemara yang rindang. Layar kotak yang berpendar menyorot nama dari kartu identitas yang membuat dua orang linglung itu menyimak sampai-sampai ibunya yakin, tapi lidahnya gagap ketika menyebut nama Suleman, "I-tu ba-pakmu!"[]


Sumberejo, 04 April 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)