SI LELEMBUT


Melihat Rangga berbicara sendiri, tertawa sendiri, ngobrol sendiri padahal tidak ada orang di dekatnya, bukanlah hal aneh bagi teman-temannya. Gila? Tidak, dia normal tapi tidak normal. Dia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki orang lain pada umumnya. Kemampuan yang mungkin impian semua orang atau mungkin juga dibenci oleh sebagian orang. Ya, kemampuan supranatural atau indra ke enam. Kemampuan yang bisa melihat hal-hal gaib atau makhluk halus di sekitarnya.

Bermula ketika dia berziarah ke makam kakeknya lima tahun silam. Kuburan sepi, hanya ada hamparan batu nisan dan guguran bunga kamboja. Bersama ibunya dia menyusuri setiap makam, mencari makam kakeknya yang dibantu oleh juru kunci kuburan. Sudah dua warsa dia tidak berziarah ke makam kakeknya semenjak dia pindah sekolah di jakarta. Seperti tradisi yang berjalan di masyarakat, sebelum berpuasa mereka berziarah, mendoakan arwah leluhur mereka. Tempat ini telah banyak berubah. Makam yang semula jarang—tidak padat, kini padat sesak hampir tak bersekat.

Akhirnya mereka menemukan makam kakeknya. Lantas mereka bersimpuh dan merapal ayat-ayat suci. Pada ayat terakhir, entah mengapa kepala Rangga tiba-tiba terasa berat, pusing tujuh keliling. Ketika dia beranjak hendak pulang, tiba-tiba pukulan hebat mendarat di tengkuk lehernya. Entah siapa yang melakukannya, padahal disana hanya ada dirinya dan ibunya. Makhluk halus, kah?  Rangga tersungkur—pingsan. Ibunya teriak minta tolong.

Matanya yang masih setengah terbuka, mencoba untuk memahami keadaan di sekelilingnya. Ketika dia mengucek-ucek matanya, dengan ekspresi yang tidak percaya, mulut menganga dan mata membelalak lebar, dia melihat sesosok bayangan makhluk kecil yang sedang bersandar di pundak ibunya.

“Ha—ntu!”

“BRUKK!” Pingsan lagi.

Seiring dengan berjalannya waktu, ia mulai terbiasa dengan hal-hal yang berbau mistis. Makhluk halus adalah temannya. Tak hirau jika teman-temannya menganggap dirinya gila karena berbicara sendiri. Mereka tak tahu yang sebenarnya, kan? Ia menganggap kemampuan ini adalah berkah dari Tuhan yang patut ia syukuri.

***

“Eh, bentar. Liat tuh Rangga lagi ngomong sendiri di pojok kelas. Samperin, yuk?” kata salah satu teman Rangga.

“Males, ah! Takut!” jawab seorang berwajah polos.

“Lagian ngapain juga ngurusin orang yang kurang waras,” timpal seorang lainnya.

“Huss! Nggak boleh ngomong gitu! Dia itu indigo. Kamu ingat kan kejadian di sekolah beberapa hari lalu?”

“Apa itu? Agaknya aku ketinggalan informasi.”

“Kesurupan!”

“Lalu?”

“Dia yang ngobati.”

“Wuih! Sakti, ya? Ha! Ha! Ha!”

“Ssstt! Jangan keras-keras nanti dia dengar.”

“Eh, by the way, kalian lapar nggak sih? Ke kantin yuk!”

“Iya, lapar nih.”

“Yuk!”

Setelah puas melampiaskan ejekan mereka kepada Rangga, mereka bertiga beranjak menuju kantin, meninggalkan Rangga yang masih berbicara sendiri di pojok kelas.

“Kalo mau makan jangan lupa berdoa!” teriak Rangga dari pojok kelas. Mereka bertiga acuh, menatap Rangga dengan tatapan tajam, sinis, lantas melanjutkan langkah meninggalkan kelas.

“Hi… hi… hi…,” Rangga tertawa terkekeh-kekeh bersama teman lelembutnya.

“Aku juga lapar, nih. Aku mau ke kantin,” ucap Rangga pada temannya.

“Aku ikut! Aku senang sekali berada di kantin.” Lelembut itu terlihat bersemangat.

“Kenapa?”

“Karena di sana aku bisa gangguin orang-orang yang sedang makan. Hi… hi… hi…”

“Kau lihat saja nanti.”

Mereka berdua terlihat seperti kakak dan adik. Lelembut kecil itu selalu mengikuti Rangga ke mana pun ia pergi. Bagaikan pengawal, terkadang lelembut itu melindungi Rangga dari mara bahaya yang mengancam keselamatan Rangga. Jika di umur-kan, Lelembut itu kira-kira berusia dua belas tahun. Dia menggunakan celana dan baju panjang kebesaran berwarna putih. Dia bisa melayang, terbang, dan menembus dinding. Sakti!

Di sepanjang jalan ke kantin, teman-temannya tak henti-henti menatap Rangga dengan tatapan heran. Pasalnya Rangga selalu meracau pada dirinya sendiri.

“Wah, kantinnya ramai sekali, ya. Tidak seperti biasanya, sepi,” ucap Rangga.

“Kamu belum tahu, ya?” timpal teman lelembutnya.

“Tahu apa?”

“Temanku, si pocong baru kerja di sini.”

“What! Excuse me! Maksut loe?”

“Jadi ceritanya gini. Kemaren malem pas aku mau pulang ke rumah—kuburan—aku liat Mang Udin, penjual bakso itu lagi gali kuburannya temanku, si Pocong. Dia—si Pocong—lagi tidur pules banget. Aku nggak tega buat bangunin Pocong. Waktu itu kan malem jumat, jadi jadwal pocong buat gangguin orang-orang yang lagi pacaran di area makam lagi libur.”

“Terus-terus, gimana?” Rangga menyela dengan penuh penasaran.

“Terus Mang Udin nyuri tali pocongnya si Pocong. Si pocong nangis deh gegara tali pocongnya hilang. Bukan pocong dong kalau talinya hilang.”

“Lalu?”

“Sumpah aku nggak tega ngeliat Pocong nangis. Dia diputusin sama pacarnya, Kuntilanak. Katanya si Pocong kurang jantan kalo nggak ada talinya.”

“Aku kasih tahu ke Pocong kalo Mang Udin yang nyuri talinya. Dia udah cari kemana-mana tapi nggak juga ketemu. Mang Udin pake jimat dari Mbah Dukun, jadi Pocong nggak bisa berbuat apa-apa selain nurutin perintah Mang Udin. Mang Udin janji kalo Pocong mau bekerjasama sama dia, dia bakalan balikin tali pocongnya.”

“Lalu, si Pocong kerja apa di sini?”

“Itu dia, si Pocong. Kamu nggak liat?” Lelembut kecil menunjuk ke arah barisan mangkok bakso yang siap diseduh.

“Kerjanya dia gampang banget. Cuma ngeludahin mangkok bakso yang mau diseduh itu. Orang-orang di sini pada makan ludahnya pocong. Warung Mang Udin jadi laris manis deh. Rasa ludahnya mantep. Hi… hi…hi…”

“Ih! Jijik!” Rangga mengernyitkan dahi.

“Makanya, kamu kalo makan bakso di sini harus doa dulu biar mangkok baksonya nggak jadi diludahin sama pocong.”

“Untung aja aku selalu doa kalo mau makan.”

“Bagus!”

“Liat tuh, temen kamu yang tadi ngejek kamu di kelas. Makannya rakus banget. Tidak memakai adab. Tidak mencerminkan seperti seorang pelajar yang soleh. Padahal kemarin pas pelajaran agama sudah diajarin sama ibu guru, kan?”

“Iya. Mereka kalo dibilangin suka ngeyel. Keras kepala!”

“Itu juga ada yang pesen makanan banyak banget. Paling ujung-ujungnya nggak habis terus dibuang.”

“Aha! Aku ada ide,” Lelembut itu mengacungkan jari layaknya ada sebuah bola lampu yang menyinari otaknya.

“Apa itu?”

“Sudahlah! Aku mau makan dulu. Aku lapar,” sambung Rangga.

“Nikmatilah makananmu. Aku juga mau bersenang-senang,” kata Lelembut.

Rangga asyik menikmati makan siangnya, sedangkan si Lelembut meninggalkan Rangga menuju tiga orang teman yang mengejek Rangga tadi.

“Rangga, liat ini!”

Pandangan Rangga teralihkan pada Lelembut yang berdiri di atas meja, tempat ketiga kawannya makan.

“Apa liat-liat!” ucap salah seorang teman Rangga nyolot. Rangga kembali menikmat makanannya.

Si Lelembut itu melepas celananya dan duduk nongkrong di atas piring temannya. Lantas dia buang air besar di sana. Rangga hanya bisa tertawa terkekeh-kekeh sambil menikmati makanannya.

“Makanya sebelum makan berdoa biar berkah,” si Lelembut seolah menasihati mereka.

“Kau bisa liat, Rangga. Aku lebih mahir dari si Pocong dan bisa membuat warung ini menjadi lebih laris dari sebelumnya. Hi… hi… hi…”

Mereka berdua tertawa lepas tanpa peduli orang di sekitar mereka menggeleng-gelengkan kepala—keheranan.

Tanggamus, 17 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)