Cerpen: ADA CINTA DI GEDUNG TEATER


Sekolah kami memiliki gedung aula yang besar. Di dalamnya, ada panggung yang biasa digunakan untuk mempertontonkan berbagai macam pertunjukan karya seni. Tari, teater, musik, dan acara-acara besar seperti perayaan perpisahan. 


Lampu-lampu kecil menghiasi di setiap sudut. Background dicat dengan warna putih yang mendominasi. Aula itu tertutup yang membuat suara-suara memantul-mantul. Pita warna-warni menggantung di atas daun jendela. 


Aku ingat betul pertunjukan teater tokoh pasangan wayang yang melegenda, Rama dan Sinta. Pameran karya setiap setahun sekali yang wajib diadakan sebagai bukti kepada para orang tua bahwa siswa-siswi didikan kami mempunyai prestasi. 


Sebelumnya, sebagai guru seni, aku memilih para pemain yang akan melakonkan masing-masing peran. Mereka sangat antusias menyambut pertunjukan teater agung itu. Ada satu siswa yang sangat jenaka, jahil, pula terkenal nakal. Mengingatnya, aku tertawa juga bangga sebab totalitas aktingnya membuat pertunjukan teater itu memesona.


"Kamu yakin dengan anak itu? Apa bisa?" ucap salah satu rekan kerjaku. 


Anak itu bernama Juan. Dari awal masa orientasi, hinggga menjelang kenaikan kelas tiga SMA, anak itu terkenal nakal. Dewan guru dibuat ampun, tepuk jidat, mengelus dada berulang-ulang dengan kelakuan nakalnya 


Ia sering bolos sekolah. Tidur saat jam pelajaran ialah hal biasa. Rambut gondrong acak-acakan. Pernah sekali ia ketahuan merokok di toilet. Hal itu membulatkan keputusan kepala sekolah untuk mengeluarkannya. Namun, niat itu diurungkan setelah mengetahui bahwa Juan sudah tidak memiliki orang tua. Ia harus kerja paruh waktu untuk membiayai sekolah dan seorang adik laki-lakinya. Pula, mengeluarkan siswa bukan satu-satunya jalan keluar. Hal itu malah menunjukkan kegagalan dewan guru dan sekolah dalam mendidik siswa. Ibarat bengkel, kendaraan rusaklah yang diperbaiki, sama seperti sekolah yang mendidik manusia bodoh menjadi bermartabat. 


Sebenarnya, di usianya yang masih remaja, nakal adalah hal yang wajar untuk memperoleh pengakuan dari orang-orang di sekitarnya dan Juan adalah salah satunya. Itu adalah bagian dari aktualisasi diri. Barangkali, ia hanya perlu perhatian yang luput dari orang tuanya. Juan didewasakan oleh keadaan. 


Di balik sikap nakalnya itu, aku melihat ada potensi besar yang bersemayam dalam dirinya. Ia seorang lelaki remaja yang berani dan percaya diri. Benar ia nakal, tetapi ia tak pernah membantah dan selalu mengakui kesalahannya. Itulah sikap lelaki.


"Insya Allah, Bu. Aku yakin Juan bisa."


Mulanya, Juan terkesiap mendengar namanya disebut untuk memerankan tokoh Rahwana. Jelas ia menolak. Ia lebih suka jadi penonton seperti tahun lalu atau berderet di luar aula menjajakan minuman es cappuccino dan manisan. Aku menatap lekat matanya dan kusentuh pundaknya. Seingatku, Juan mengiyakan setelah itu. 


"Setiap orang bisa berubah." 


Kata-kata itu lepas saja dari mulutku. Sok bijak. Aku melihat anak-anak berlatih bersama rekanku, Bu Mawar. Sejak saat itu, Juan makin rajin ke sekolah, berlatih hingga senja. Bukan hanya itu, katanya,


"Aku sekolah cuma mau ketemu Bu Rina," ucapnya seolah menggodaku. Kutoyor jidatnya. 


"Latihan yang bener! Pokoknya harus bagus!" Ia berlari sambil mengacungkan jempol. 


Tidak kudengar lagi keluhan dewan guru yang aneh-aneh tentang Juan. Sudah kuduga, ia hanya butuh sedikit bimbingan. Kebanyakan dari kita terlalu cepat mengambil kesimpulan dan menjustifikasi kenakalan sebagai keadaan anak yang paten. Hanya butuh sedikit kesabaran karena setiap anak pasti memiliki potensi. 


Hari selanjutnya, Juan datang pagi-pagi sekali dengan seikat mawar di tangannya. Hari itu merupakan gladi bersih. Esok, pertunjukan dimulai.


"Ini untukmu, Bu Rina." 


Kuambil saja bunga itu. Kuhidu pelan. 


"Aku tak suka bunga liar!" 


"Itu aku beli khusus buat Ibu," ucapnya meyakinkan, meski kutahu, ia mengambilnya dari pot di depan pagar sekolah. 


"Bu Rina."  


Air muka Juan tenang. Aku yang menatapnya dibalut keheranan. Tak biasanya ia seserius ini. 


"Bu Rina sudah punya pacar?" 


Sebelum lulus kuliah, aku sudah mulai mengajar. Usiaku tak terpaut jauh dengan anak-anak didikanku. Tubuhku kecil. Suaraku cempreng. Hal itu membuatku tampak seperti kawan mereka, bukan guru dan murid. Mereka kerap becanda. Kadang kelewatan, tetapi aku tak keberatan jika hal itu bisa membuatku lebih dekat dengan mereka. 


"Tentu sudah! Aku 'kan cantik." Kuiringi tawa, tetapi Juan tetap tenang.


Beberapa minggu yang lalu, aku dilamar seorang pengusaha dari kota. Ia anak rekan Ayahku. Pernikahan akan dilaksanakan tahun ini. Namun, aku meminta untuk ditunda karena aku belum siap untuk meninggalkan sekolah dan klub teater yang kubentuk. Aku ingin menyaksikan teater anak-anak didikanku yang pertama kalinya menayangkan kisah wayang. Biar genap lima tahun aku di sini, kutunda pernikahan hingga tahun depan. 


"Tapi, aku yang lebih dulu mencintai Ibu," ucapnya dengan nada putus asa.


Matahari makin tinggi. Ruangan mendadak bisu. Telingaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan ganjil. Gaya becandanya membuat dadaku berdesir. Sejurus kemudian kusadari, Juan tidak sedang bergurau. 


"Juan tampan." Aku duduk di sampingnya, mematut ke kedua matanya yang berbinar, bening seperti kaca. "Banyak gadis di luar sana. Tapi, kamu harus belajar dulu, ya. Jangan pacar-pacaran dulu. Jalanmu masih panjang." Juan menunduk saja.


Ah, dasar bocah! rutukku dalam hati ketika Juan mengangkat kaki dari ruanganku untuk latihan teater. 


***


Aku kembali lagi ke gedung aula ini setelah sepuluh tahun hiatus. Sudah banyak yang berubah. Gedung ini melebar dan lebih nampak seperti gedung bioskop dengan kursi berundak. Lampu sorot menggantung di langit-langit. Tempat ini penuh kenangan, tentang klub teater dan bocah konyol itu. 


Setelah pertunjukan teater itu, murid-murid kelas tiga berpisah dengan kami untuk mencari takdir masing-masing, termasuk Juan yang kudengar merantau ke kota mengikuti jejak pamannya. Juga aku yang akhirnya menikah setelah penundaan demi klub teater di sekolah ini. Namun, pernikahan itu tak berusia lama. Kami harus berpisah sebab mantan suamiku tak cukup sabar mengurus perempuan yang menderita leukemia. Tubuhku habis, hanya menyisakan kerangka kering yang rapuh. 


Kepala sekolah mengundangku kemari, di acara perpisahan peserta didik. Ia juga menawarkanku pekerjaan lagi sebagai pengajar seni seperti dulu. Akan tetapi, aku sudah tak mampu lagi. Aku bisa mati sewaktu-waktu. Kudengar keluhan kepala sekolah tentang kesibukannya mencari penggantiku setelah aku resign. "Jujur, tidak ada yang sehebat kamu."


Klub teater yang kubentuk, sering hilir mudik ke luar negeri. Prestasinya membanggakan. Beruntung, seorang lelaki fresh graduate hadir lima tahun setelah klub teater itu genap berusia sepuluh tahun. Ia kembali meneruskan perjuanganku. 


Duduk di kursi ini terasa seperti déjà vu. Riuh tepuk tangan bergemuruh. Kupandangi lama gedung itu, kursi-kursi, dan panggung. Rasanya baru kemarin aku bergurau bersama anak-anak teater. Rambutku kini telah memutih. Jalanku lamban meski aku baru berkepala empat. 


Gedung teater itu telah kosong, tetapi perasaan untuk beranjak belum mengusikku. 


"Bu Rina." Suara parau mengejutkanku. Aku menoleh dan kudapati dirinya seperti sepuluh tahun yang lalu dengan segenggam bunga di tangan. "Apa kabar?"


Kudengar dari Bu Mawar, Juanlah yang menjadi pengajar seni setelahku. 


Juan menyodorkan bunga kepadaku. "Aku mendalami teater berkat kau," ucapnya tegas. Suaranya berat. Aku tertegun. 


Kuceritakan semuanya setelah aku tak mengajar di sekolah ini, termasuk tentang pernikahanku yang gagal. 


"Jika kau terima cintaku dulu, pasti kau tak akan semenderita ini," ledeknya. Hari ini ia membuatku tertawa. 


"Mana pacarmu, Juan?"


"Pacar? Pacarku, kan, kamu, Rina. Kamu mau, kan, jadi pacarku?"


Mendadak napasku tersengal. Kulihat wajahnya yang dipenuhi kumis dan jenggot tipis. Ia telah menjelma seorang lelaki dewasa. Sama seperti dulu, kali ini pula ia tak main-main. 


"Mau-maunya sama perempuan berpenyakitan!" ucapku mengakhiri percakapan. Tubuhku limbung setelah itu. Ambruk. Tau-tau, aku telah terbaring di rumah sakit. 


Bu Mawar, Kepala Sekolah, dan Juan ada di sana, mentapku penuh cemas. Perkataan Juan masih menggema di kepalaku. "Kamu mau jadi, pacarku?" Aku mengingat hari-hari yang lalu. Betapa membanggakan bisa mengantarkan anak didikku menjadi orang sukses. Dengan gaya mengajarku yang terlalu membebaskan murid, barangkali aku gagal menerapkan sopan santun. Namun, itu dulu, ketika kudengar kata cinta dari Juan, kutahu itu hanya cinta monyet. Dan sekarang, setelah sepuluh tahun berlalu, waktu yang cukup untuk mendewasakan seseorang, Juan mengucapkannya lagi tanpa keraguan. 


Aku tak suka aroma rumah sakit, hingga kulupakan jadwal rutin untuk periksa keadaanku. Aku lebih memilih menghadiri undangan pertunjukan teater. Ketiga orang itu masih menemaniku hingga matahari melepuh jadi warna kuning tua. Beberapa waktu kemudian, orang tuaku datang, juga kerabat-kerabat dari jauh beriringan dengan suara sirine mobil ambulan. Suara tangis melangit tepat ketika malam menyelimuti gedung-gedung tinggi. Aku melihat kesedihan yang mendalam di ruangan itu.[]


Tanggamus, 30 Oktober 2021



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)