Cerpen: DUA SAHABAT



Rama dan Soleh sudah berkawan sejak kecil. Mereka saling melengkapi dan berbagi segalanya sebab dunia mereka jauh berbeda. Rama adalah anak dari sepasang konglomerat yang begelimangan harta, sementara Soleh hidup dalam kesederhanaan. Rama bisa menikmati indahnya dunia, sementara Soleh hidup dalam kegelapan sebab ia tuna netra sejak lahir. 


Mulanya, Ibu Soleh bekerja di rumah Rama sebagai asisten rumah tangga. Rama yang sehari-harinya hidup sendiri sebab orang tuanya sibuk bekerja menjadi gembira mendapatkan seorang teman. Ketika orang tua Rama belum pulang hingga larut malam, ia ikut bersama Soleh dan ibunya hingga orang tuanya datang menjemput. 


Dari situ, Rama merasakan kehidupan yang berbeda. Bukan karena rumah dan makanan yang sederhana, tetapi keluarga Soleh yang amat harmonis. Rama merasa sangat hangat dan tenteram di rumah Soleh. Ia sangat berharap mendapatkan keluarga yang seperti itu, orang tua yang selalu ada saat dibutuhkan dan waktu yang selalu dihabiskan bersama-sama. 


Rama tak pernah mendengar kata-kata kasar di rumah Soleh. Berbeda dengan rumahnya yang selalu ada pertikaian di antara ayah dan ibunya. Mereka saling bertengkar mengedepankan ego dan keras kepala. Rama menjadi sering melamun dan bersedih. Oleh karena itu, ia lebih suka menghabiskan waktu di rumah Soleh. 


Di sisi lain, Soleh selalu menginginkan kehidupan yang seperti Rama. Ia ingin hidup dalam rumah mewah dengan makanan yang enak, baju yang bagus, dan pembantu yang menyiapkan makanan tiap saat. Jadi, ia tak perlu bersusah-payah bekerja terlebih dahulu untuk mendapatkan sepiring makanan. Lebih dari pada itu, Soleh ingin sekali melihat indahnya dunia yang sering diceritakan Rama. 


"Langit itu berwarna biru, Soleh. Kadang ia berwarna putih dan gelap saat mendung. Lalu, saat sore, langit berwarna jingga. Daun-daun berwarna hijau, tanah berwarna cokelat, dan baju yang kau pakai itu, .... hmmm hitam, tapi lebih mendekati kelabu."


"Kata Ibu, bajuku sudah luntur."


"Oh, iya. Luntur."


"Aku ingin sekali melihat itu, Rama. Apalagi wajah Ibu. Pasti ia sangat cantik. Bapak pasti sangat gagah, kan?"


"Kau benar, Soleh. Mereka sangat sempurna."


Rama menunduk. Sehampar kesedihan hinggap di pipinya. Nayatanya, ia ingin sekali membuang jauh-jauh kenangan yang diciptakan matanya. Segala yang melintas itu susah dilupakan. Tentang orang tuanya yang saling mencemooh, menampar, memukul, sementara dirinya hanya bisa meringkuk dalam kamarnya. Dunia yang ia lihat selalu kelabu. Langit yang ditatapnya nayatanya tak biru. Daun-daun seutuhnya kering dan layu. 


Ah, Rama ingin berlama-lama di rumah Soleh, menonton tivi hitam putih dengan segelas teh dan singkong rebus. Kadang, Ibu Soleh membawa sisa makanan dari rumah Rama, tetapi Rama enggan memakannya. 


"Aku bosan makan daging!" rutuknya.


Jadi, mereka saling bertukar makanan. 


Ibu Soleh pun tak keberatan ketika Rama menginap di rumahnya. Rama datang dengan lelehan air mata saat kenaikan kelas dua SMP. Kelak ia tahu, orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Namun, Ibu Soleh tetap bekerja di sana, mengurus Rama hingga ia lulus kuliah. Sementara Soleh juga ikut membantu ibunya dengan merawat sepetak kebun di halaman belakang rumahnya. Hasilnya mereka makan bersama. Makanan kesukaan Rama tentu singkong rebus. 


"Aduh!" Soleh mengaduh. Kakinya tersangkut ranting. Darah merembes di sela jari kakinya. 


"Sial! Andai saja aku bisa melihat, Rama, pasti hidupku jadi sempurna. Hidupku tak mungkin sesial ini!" tuturnya.


"Melihat tak seindah yang kau bayangkan. Aku malah ingin menjadi buta sepertimu!"


"Hah! Kau gila! Siapa yang sudi hidup dalam kegelapan?! Ah, Rama, tentu kau berkata seperti itu hanya untuk menenangkan perasaanku. Hidupmu sempurna sementara hidupku kacau!"


Tidak ada yang pernah mengerti keinginan satu sama lain. Akan ada banyak kekecewaan dengan melihat. Banyak kemaksiatan yang merusak isi kepala. Banyak kerusuhan yang tak sanggup ia lihat. Sungguh, aku ingin buta saja! batinnya. Namun, toh, hidup saling pandang memandang.


Di usianya yang ke tiga puluh, Rama resmi jadi dokter. Banyak pasien yang telah ia tangani, sementara Soleh masih setia menjadi tukang kebun di rumah Rama yang kian kosong. Orang tua Rama telah menikah lagi dan masing-masing hidup dalam rumah tangga sendiri-sendiri. Alih-alih dijual, rumah lama itu tetap dipertahankan untuk Rama sebab ia tak memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya. Ia tetap memilih tinggal sendiri bersama keluarga Soleh yang harmonis. 


Telah lama sekali Rama menawarkan keluarga Soleh untuk tinggal di rumah megahnya. Akan tetapi, mereka dengan halus menolaknya. Mereka bilang tidak pantas. Cukuplah dengan bekerja untuk keluarga Rama, mereka sangat senang sebab dari situlah mereka menggantungkan hidup.


Nyaris tidak ada lagi yang Rama inginkan. Trauma masa kecil membuatnya ragu untuk berumah tangga. Ia tak ingin ada yang tersakiti akibat cinta. Di sisi lain, Soleh pun masih melajang. Siapa pula yang mau dengan lelaki tuna netra? 


Tepat pada hari ulang tahun Soleh, seseorang dari kota menawarkan donor mata untuknya. Ia amat gembira dengan itu meskipun hanya satu biji mata yang didonorkan. 


"Rama, aku sangat senang. Kau harus hadir saat operasiku. Aku mohon kamu menemaniku," pinta Soleh. 


"Ya. Aku pasti datang," jawabnya.


Mereka berdua terbaring dalam ruangan yang sama.


Selepas operasi selesai, butuh waktu beberapa hari untuk mata itu bisa melihat seperti mata normal lainnya. Yang pertama kali dilihat Soleh ialah dinding rumah sakit yang putih. Kemudian, lamat-lamat wajah orang tuanya ia pandangi. Mulanya buram, kemudian jelas terlihat wajah orang tuanya yang teramat ingin dilihatnya. Mereka pun menangis haru.


"Inikah yang dinamakan keriput?" ujar Soleh ketika meraba wajah ibu dan bapaknya.


"Rama! Mana Rama?" Soleh mencari-cari Rama yang katanya akan menemaninya selalu. Namun, pandangannya seketika teralihkan oleh bentang langit yang biru di luar jendela. Kemudian awan berarak-arak. 


"Wah! Indah sekali!" Soleh terkesima.


Sejurus kemudian, Rama duduk di sampingnya. 


"Ini, kan, yang kau inginkan, Soleh?" Rama menepuk pundak Soleh pelan, tetapi pandangan soleh masih terpaku pada langit yang biru sebelum kemudian melemparkan pandangan pada Rama. Saleh mendadak terkesiap. Ternyata, Rama, sahabatnya itu amat tampan sekali. Ia memeluknya dengan erat. 


"Kenapa matamu yang satunya ditutup, Rama?" tanya Soleh heran melihat perban melingkari mata sebelah kiri Rama. Orang tua Soleh menunduk berusaha menyembunyikan perkataan Rama waktu itu. 


"Aku ingin mendonorkan mataku untuk Soleh. Tolong jangan bilang padanya kalau akulah pendonor itu."


Orang tua Soleh terperanjat. Entah apa yang ingin dikatakannya pada Rama, tetapi mereka tahu cita-cita Rama yang telah lama itu, yaitu ingin melihat Soleh bahagia dengan melihat Dunia. 


"Lalu bagaimana deganmu, Rama?"


Rama hanya diam. Ia telah banyak melihat dunia yang tak diinginkannya. Toh, melihat dengan satu mata bukanlah hal yang buruk.[]


Sumberejo, 01 Mei 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)