Cerpen Puisi: RUMAH

 #Cinta_CerPus

#Cerpen

#Puisi


RUMAH


oleh Firman Fadilah


Jumkat 800+


Di teras rumah tua itu, Kakek Dul termenung, seolah ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Ditatapnya langit senja dengan awan setipis tisu. Kerut di keningnya makin bertumpuk, menggambarkan hari-harinya yang kian murung. Suara kendaraan yang lalu-lalang ramai mengusik suasana, tetapi suara deru itu hanya kebisingan belaka yang tak mampu menepis berbagai kegundahan dalam dadanya. 


Sebagai seorang tua yang tinggal sendiri, seharusnya ini adalah waktu yang paling tepat untuk menikmati kehidupan. Setelah istrinya meninggal, lalu ke lima anaknya menikah dan pergi merantau, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya telah dewasa dan mandiri. Tugasnya sebagai orang tua telah selesai. Kini, ia hanya perlu memperbaiki diri dan menunggu anak-anak dan cucu-cucu kembali menjenguknya. Namun, kegundahan yang tergambar pada garis retak di pipi dan keningnya tak mungkin bisa disembunyikan.


Seminggu yang lalu, seorang kontraktor menyambangi rumah tuanya yang terletak di pinggir jalan raya. Dadanya bergemuruh. Perasaan tak enak tiba-tiba menerkamnya. Ia tahu, orang-orang itu pasti akan datang.


[Kuciumi aroma tanah

rumahku yang paling rapuh

dilepuh waktu, lalu kenangan

menguar satu-satu.]


Para tetangga Kakek Dul berbondong-bondong menjual rumah mereka dengan iming-iming uang ratusan bahkan milyaran rupiah. Proyek jalan tol tengah digalakkan untuk memudahkan akses mobilitas dari kota ke kota. Dari menjual rumah itu, mereka bisa menyekolahlan anak-anak hingga ke universitas, membeli kendaraan baru, bahkan mereka bisa membeli rumah mewah yang lebih besar dari sebelumnya. Hidup mereka makin makmur. 


"Kami tawarkan 800 juta untuk rumah ini!" Seseorang menawarkan dengan tegas. 


Kakek Dul termenung. Alangkah banyak uang itu. Ia tak pernah melihat uang dengan tumpukan sebanyak itu sebelumnya. Bibirnya gemetar antara ingin mengatakan iya dan enggan menjual rumah penuh kenangan itu. Mendadak, ia teringat almarhumah istri tercinta.


"Menikahlah denganku, Menik. Kita bangun rumah sederhana di samping kota. Kita tanam pohon mangga dan rambutan supaya sejuk saat musim panas. Lalu, anak-anak kita tumbuh sehat. Mereka memanjat pohon-pohon itu, kemudian jatuh dan menangis. Lantas kau marah, tetapi tingkah lucu mereka membuatmu luluh." 


[Di sampingnya kutanam pohon besar 

kini tumbang dimakan jalan

yang lebar dan retak menggariskan

panjang peta nasib.]


Tentu tidak gampang membangun rumah sederhana yang telah berkali-kali direnovasi itu. Sebelumnya, mereka sama-sama bekerja di konveksi. Mereka bertemu, berkenalan, berkencan, menikah, dan akhirnya berumah tangga. Sebidang tanah mereka beli dengan tabungan selama lima tahun hidup di kontrakan. Lalu, tahun ke delapan, mereka menyewa jasa tukang bangunan untuk membangun rumah impian mereka. Nahas, dana pembangunan membengkak. Menik terpaksa menjual apa-apa yang masih tersisa, termasuk mas kawin. Meski berat melepas, tetapi kebahagiaan terpancar saat rumah itu telah jadi. 


Dua puluh lima tahun berumah tangga, mereka telah dikaruniai lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Sesuai impiannya juga, di samping rumah ditanami pohon mangga dan rambutan. Buahnya selalu ranum setiap tahun. Semua orang kenyang makan buah. Pohon-pohon itu menjadi markas bermain anak-anaknya, anak-anak tetangga juga. Betapa bahagia hidup yang sederhana di tepi kota.


[Kulihat anak-anak berlarian menjelang

magrib dan seketika mendung

mendewasakan cinta, begitu purba

rumahku berdinding debu.]


Setiap benda pasti menyimpan kenangan. Kenangan itu akan terus hidup walau orang yang mengukirnya telah tiada. Seperti rumah Kakek Dul yang telah menjadi saksi anak perempuannya menikah, saat cucu pertamanya yang kembar dikhitan, saat kumpul keluarga ketika lebaran, dan juga saat istrinya mengembuskan napas terakhir akibat kanker serviks. Semua itu tertimbun jadi satu dalam rumah sederhana yang kini ditawar ratusan juta oleh kontraktor jalan.

Bagaimana mungkin kenangan penuh cinta itu akan dijual? Tentu harga itu tak akan pernah sepadan. 


Kabar tentang tawaran oleh kontraktor itu pun akhirnya sampai di telinga anak-anaknya. Percuma menutup-nutupi karena pada zaman ini, semua informasi mudah dijangaku. Rumah Kakek Dul letaknya paling strategis, datar, sesuai dengan peta rancangan yang langsung mengarah ke gerbang tol menuju pelabuhan. Sehingga, kontraktor jalan tak perlu menyewa arsitek mahal untuk merancang pembangunan. 


Mendengar kabar itu, anak-anaknya, terutama yang paling tua, pulang kampung. 


"Jual, saja, lah, Yah! Nanti kita bisa beli rumah yang baru di tempat lain," ucapnya menggebu. "Jika ada sisa, bisa Ayah gunakan lagi terserah untuk apa." 


Kakek Dul tak memberikan jawaban apa-apa. Anak-anaknya mungkin tak akan pernah mengerti betapa ia amat mencintai rumah sederhana itu, terlebih kenangan yang tersimpan di dalamnya. 


Tampaknya bujuk rayu anak pertama tak mampu memggoyahkan keengganan Kakek Dul untuk menjual rumah itu. Maka, anak-anak yang lain berdatangan untuk membujuk.


"Jual saja, Yah. Nanti Ayah tinggal sama aku."


"Rumahku yang di Bali lebih sejuk dan besar, Yah."


"Nanti akan ada asisten khusus yang merawat Ayah."


[Aku pun kerap menghitung usia,

tetapi ia adalah langkah pendek 

yang tak mampu menggenggam waktu

betapa rumahku mahir menyimpan rindu.]


Menjelang petang, Kakek Dul masih termenung di depan terasnya. Entah kalimat apa yang tepat untuk dikatakan jika suatu hari nanti istrinya tahu rumah sederhana yang telah mereka bangun dengan cinta dijual. Itu tandanya ia telah mengingkari janji untuk tetap mempertahankan rumah itu apa pun yang terjadi. 


Kontraktor itu berkali-kali kembali untuk yang kesekian kalinya meskipun mereka akan tetap mendengar jawaban yang sama. Namun, akibat sikap keras kepala Kakek Dul, kontraktor itu hilang kesabaran. Mereka tetap membangun jalan tanpa mengeruk sejengkal pun tanah Kakek Dul. Agaknya, mereka telah menyewa perancang bangunan yang andal sehingga tetap sesuai rencana awal walau rumah Kakek itu amat mengganggu di dalam peta. 


Anak-anaknya pun bingung. Entah mengapa rumah itu tetap dipertahankan. Padahal, peluang bisnis besar bisa didapat dari penjualan rumah itu. Barangkali uang, harta, tanah, bisnis, atau hal-hal yang berbau duniawi tak menarik lagi baginya. Ia hanya ingin menikmati masa tua dengan tenang, setenang istrinya ketika mengembuskan napas terakhir di atas dipan kayu jati.[]


Tanggamus, 05 Februari 2022



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)