Cerpen: MALAM BERDARAH

 Disclaimer: cerita mengandung gore. 18++



Jam 01:10


[Belum tidur?] pesan dari Ken, kawan satu kelasku. Perasaan ganjil muncul tiba-tiba. Sebelumnya, ia jarang mengirim pesan, terlebih untuk hal basa-basi seperti ini. Biasanya, kami hanya berbalas pesan untuk membahas pertandingan sepak bola. Pesan sudah telanjur kubaca, tak mungkin kuabaikan. 


[Belum,] balasku. [Kenapa?]


Malam itu, entah mengapa mataku enggan terpejam. Beberapa cerita pendek telah selesai kubaca untuk membuat mataku lelah, kemudian terkatup. Namun, semakin banyak kata-kata yang kubaca, mataku semakin terjaga. 


Dadaku kian bergemuruh seperti ada ketakutan yang mengintai di balik jendela. Angin berkesiur, membuat ranting dan daun-daun saling bergesekan. Suara-suaranya menjadi aneh seolah suara seseorang yang merintih-rintih mencari pertolongan. Terlebih, tidak ada orang di rumah. Orang tuaku pergi ke luar kota. Ketakutan kian mencekam. Keningku berpeluh. 


[Aku nggak bisa tidur, Jo.]


[Sama.]


[Aku masih belum bisa move on dari kejadian kemarin.]


Seorang perempuan ditemukan dalam keadaan mengenaskan di toilet sekolah. Bagian alat vitalnya memar. Tangan dan kaki terikat kencang. Mulut tersumpal celana dalam yang penuh dengan darah berwarna merah pekat. Kepalanya pecah. Darah di mana-mana. Perempuan itu ialah Kayle, teman sekelas kami. 


Wajar saja bila Ken belum bisa melupakan peristiwa atau memaafkan pelaku keji pembunuhan itu. Baru beberapa minggu ini Ken dan Kayle jadian. Nahas, nasib buruk menimpa Kayle. Aku turut berduka. 


Banyak kawan sekolah yang merasa iri kepada mereka. Ken adalah seorang lelaki tampan dan kaya, sama dengan Kayle yang adalah seorang perempuan cantik dari keluarga konglomerat. Ia juga salah satu siswi berprestasi di sekolah. Kejadian mengenaskan itu membuat semua warga sekolah sangat menyayangkannya. Mereka akan menjadi pasangan bahagia kelak. 


[Aku cinta mati sama Kayle.] Ia menyelipkan emotikon menangis.


[Aku turut berduka, Ken.]


[Makasih, Jo.]


[Sebelumnya, aku mau nanya sesuatu.]


[Boleh.]


Mendadak jantungku berdetak kencang. Pikiranku kacau. Ken tampak mengetik pesan. Kurebahkan ponsel di kasur. Aku bangkit untuk mengambil segelas air putih. Pikiranku berangsur tenang. 


[Kata Asep, apa benar sebelum kejadian itu kamu jalan berdua sama Kayle?]


Waktu itu, aku hendak menuju ke toilet. Setengah buru-buru aku melangkah sebab bel masuk sudah berdentang-dentang. Kulihat Kayle juga hendak menuju ke toilet. Aku tak sempat melihat wajahnya sebab ia selalu menunduk. Sore, pada saat jam pulang sekolah, Kayle ditemukan tewas. 


[Iya, Ken. Tapi kami tak sempat ngobrol karena buru-buru. Intinya, kami hanya berpapasan saja.]


Kucuri dengar dari kawan Kayle, keluarganya sedang bermasalah. Ayah Kayle tertangkap basah sedang bermain kasar di ranjang dengan sekretarisnya. Ibu Kayle marah besar. Setiap hari hanya ada perundungan di rumah Kayle. Ia depresi. 


[Benar begitu?]


Pesan Ken terkesan seperti menuduhku. Maksudnya, ia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Artinya, ia menuduh. Ia mengira bahwa aku jalan berdua dengan Kayle dan ia cemburu. Ia curiga kepadaku. 


Kayle memanglah cantik dan menawan. Semua lelaki patutlah terpesona, tak terkecuali Mr. Boby, guru olahraga bermata keranjang kami. Namun, aku terlalu insecure untuk bisa mendapatkan Kayle atau sekadar duduk di sampingnya. Aku sadar diri. Hanya wanita bodoh yang suka kepadaku. 


[Sungguh. Kau tak percaya padaku?]


Pesan dibaca. Lama ia tak membalas. Beberapa saat kemudian, ia mengirimkan emotikon tawa terbahak-bahak. 


[Oke, oke. Aku cuma becanda.]


Seketika, aku bisa bernapas lega. Percakapan berhenti di situ. Kuharap mataku terpejam kali ini. Besok ada ujian matematika. Aku harus bangun pagi. 


Belum sempat mataku terpejam, dari luar tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pagar besi dengan keras. Kubuka gorden sekenanya. Terlihat seorang lelaki dengan postur tubuh tinggi melihat ke arahku. Matanya nyalang dan kosong. Ia memakai jaket klub sepak bola sekolahku. Eh! Itu, kan, Ken! Mau apa malam-malam kemari?


Kuraih ponsel.


[Ken! Ngapain kamu malam-malam ke rumahku?]


[Heh! Siapa juga yang main ke rumahmu?! Ini aku lagi di kamar. Main game.] Ia mengirimkan potonya yang sedang memegang joy stick. 


[Lah! Terus, yang di depan rumahku itu siapa?]


Kuperhatikan orang itu. Ia memegang sesuatu di tangannya. Sebuah benda seperti tongkat panjang. Mulanya, ia berdiri di luar pagar. Lalu, ia memaksa masuk dengan memanjat pagar besi berujung runcing. 


[Ya nggak tau. Emang siapa, sih? Jangan-jangan itu maling. Awas, lho!] 


Ken malah menggodaku dengan berbagi pesan konyol dan emotikon tawa. Padahal, aku begitu takut sampai tak terasa ketiakku basah berpeluh. Kalau itu bukan Ken, lantas siapa? Benar itu Ken. Nomor jaketnya 10. Wajahnya mirip sekali dengan Ken dan itu memang Ken. Ah! Aku bingung. Hanya saja, wajahnya ada guratan-guratan sedih seolah kecewa. Ia memendam amarah yang besar di matanya. 


[Ken, tolong jangan becanda!]


Lelaki itu jalan mendekat ke arah kamarku. Tongkatnya ia tarik saja hingga terdengar suara 'srek' yang panjang. Aku cemas. 


[Serius, Jo. Itu bukan aku! Aku sedang di rumah.]


[Ken, please! Itu orang aneh banget. Itu kamu, kan?]


[I swear to God! Itu bukan aku! Apa perlu aku panggil polisi?]


Keringat menganak sungai di kening. Dadaku kembang kempis melihat orang itu makin dekat, kian dekat ke arah pintu. 


[Jo! Kamu masih di sana, Kan?]


Belum sempat kubalas, tiba-tiba lelaki itu atau seseorang yang mirip Ken mendobrak pintu kamarku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa masuk ke rumahku secepat itu. Padahal, semuanya terkunci rapat. 


"Tolong!" Nahas, teriakanku tak mungkin didengar oleh siapa pun. Rumahku jauh di ujung gang.


Semena-mena lelaki dengan wajah mirip Ken melemparkan linggis tepat di dadaku.


"Argh! Sakit!" pekikku. 


Darah seketika muncrat ke atas bantal putih dan selimut bergambar Ronaldo. Dadaku amat berat menanggung linggis yang bersarang di rusukku 


"Tolong!"


Ken. Aku yakin sekali dia itu Ken. Namun dengan siapa aku berbalas pesan sekarang ini? 


"Ken tolonglah! Aku Jo, temanmu. Apa ada yang salah denganku."


Di luar, angin bertiup ugal-ugalan. Sepertinya, hujan akan turun lebat malam ini, mengguyur deras sekali seperti darah yang deras membanjiri bajuku. Air mataku mengalir, tak kuat menahan sakit. Burung hantu memekik seolah sedang menemaniku mengatasi rasa takut. 


Ken mendekat. Ia berjalan pelan dengan kepala menunduk, tetapi matanya membeliak seolah ingin membuka rahasia dalam jantungku. 


Ponsel berdentang. Panggilan dari Ken. Cepat-cepat kuraih ponsel yang tergeletak di kasur, tetapi seseorang yang mirip Ken atau ia memang Ken dengan sigap melempar pisau hingga menembus kasur. Ia berlagak seperti seorang pelempar pisau profesional. Pergelangan tanganku nyaris tembus jika ponsel itu kuambil. Ponsel masih berdering. Ken terus mendekat dengan pisaunya yang lain di tangan kiri. Kuraba leherku sambil menelan gumpalan ludah. Kubayangkan pisau itu memisahkan kepala dari badanku.


Ken meninggikan pisau di tangan kirinya seolah siap menghunus dadaku. Aku terengah-engah mencoba menyingkirkan linggis yang menancap tak terlalu dalam di sela rusukku, tetapi kuyakin, sebagian organ dalamku telah rusak.


Mendadak mataku berkunang-kunang melihat Ken yang makin dekat seolah bayang-bayang kematian kian dekat. Ken mengayunkan pisaunya. Tiba-tiba aku teringat kejadian ketika Kayle terbunuh di toilet. 


"Baiklah! Baik! Aku mengaku. Akulah yang membunuh Kayle."


Ken menghentikan langkahnya. Ia menyimak kata-kataku. 


"Kau tahu, kan, Ken? Aku yang pertama kali mengatakan bahwa aku suka Kayle. Dialah cinta pertamaku, tetapi aku sadar, aku tidak akan pernah mendapatkannya. Aku tidak cukup kaya dan tampan untuknya. Dan itu selalu terjadi, tidak ada orang yang mencintaiku. Hanya orang bodoh yang suka denganku. Termasuk kau! Kau yang berpura-pura menjadi temanku agar bisa dekat dengan Kayle. Sekarang, ketika kau telah mendapatkannya, kau pergi. Begitulah terus, aku akan menjadi seseorang yang selalu kehilangan."


Jantungku berkedut. "Argh!" Dadaku nyeri.


"Ya, Ken. Aku suka dengan Kayle, tetapi aku tidak cukup baik untuknya. Jadi, aku menyekapnya dan menikmati tubuhnya dengan paksa sebelum aku menghabisinya. Ia perempuan yang sangat cantik dan seksi. Akulah yang berhasil mendapatkannya meski dengan jalan paksa. Kau tak boleh memilikinya, Ken karena akulah yang pertama kali mencintainya."


Aku tak sanggup lagi menjelaskan itu dengan napas tersengal-sengal sementara Ken hanya mematung sebelum akhirnya ia kembali mengayunkan langkah juga pisau di tangan kirinya. Pisau itu bersarang tepat di jantungku. 


Seseorang yang mirip Ken atau ia memang benar-benar Ken memunggungiku. Terlihat tulisan "Ken 10" di jaketnya. Seolah telah menuntaskan perkaranya, Ia perlahan meninggalkan kamarku yang telah bersimpah darah. Malam benar-benar gelap dan berdarah. Burung hantu terbang menjauh. Sunyi.


Ponsel berdering. Panggilan dari Ken lagi. Kugeser tanda hijau dengan telunjuk tangan yang bergetar hebat. Layar menjadi buram oleh bekas darah, begitu juga dengan mataku yang buram, berat, makin berat hingga terkatup. Cahaya redup, kemudian gelap, sangat gelap. Aku mengantuk sekali. 


"Halo! Jo! Kau masih di sana, kan? Polisi sebentar lagi datang."[]


Tanggamus, 29 November 2021



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)