Cerpen: KOPLO



"Goyang lagi ahhh!!"


Jamilah berteriak di atas panggung, mencoba untuk mencuri perhatian penonton di bawahnya. 


"Goyang lagiii!" Penonton seketika menyahut serempak seolah-olah tak tahan lagi untuk segera mendengar suara merdu dari bibir Jamilah yang tipis dan merah seksi. Atau barangkali mereka juga ingin melihat pinggul Jamilah yang patah-patah saat bergoyang. Pantatnya yang kenyal berlenggak-lenggok segera menciptakan kepuasan tersendiri. Juga buah dadanya yang ranum seakan hendak jatuh dari atas panggung. 


Saat kendang ditabuh, kaki kanan Jamilah yang putih dan jenjang diangkat ke atas sound system di sisi panggung. Ia memainkan sepatunya yang tinggi. Lalu, seruling pun mengalun merdu.


"Tangan di atas semua yokkk!"


Seketika itu para penonton langsung riuh dan serempak mengangkat tangan dengan satu irama umpama telah terhipnotis oleh liukan badan Jamilah yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Di bawah panggung, para penonton goyang tak beraturan. Ada yang saling bersenggolan sampai adu jotos yang kemudian diamankan petugas. Ada pula yang diam-diam menenggak bir sampai teler di pojok panggung. Bau asap rokok dan kecut keringat membaur jadi satu. 


Jamilah jadi ratu panggung pada malam itu. Ratusan pasang mata hanya tertuju kepadanya. Semua orang memuji suaranya, wajah cantiknya, mata birunya, dan dagu runcingnya. Ah, sempurna! Semua yang dicita-citakannya kini terwujud. Ia jadi sorotan, jadi perhatian semua orang.


Selesai beberapa lagu, Jamilah buru-buru turun dari panggung untuk menuju ke tenda. Tak dipedulikannya teriakan penonton yang minta satu lagu lagi. Mereka minta goyang lagi. Akan tetapi, Jamilah merasakan ada sesuatu yang tak beres di wajahnya. Manakala keringat mengucur, ia tahu apa yang harus segera dilakukannya. 


Jamilah membenarkan sedikit tali dress yang melorot. Seorang tukang rias berwajah lelaki, tetapi gemulai segera masuk ke tenda. 


"Bedakku luntur, Say! Cepet benerin!" pintanya. Tukang rias itu dengan jemari penuh otot tapi lentik sigap menambal riasan yang pudar. 


Jamilah menatap lekat-lekat wajahnya di depan cermin. Ia merasa aneh. Seperti ada yang kurang. Padahal, riasan sudah ditambahkan kian tebal. 


"Kok kantung mataku makin besar, ya?" gerutunya. "Pipiku juga kendor!" 


"Ya, wajarlah. Usia!" Tukang rias itu menimpali. 


"Hush! Dasar bencong! Sembarangan! Aku belum empat puluh!" Jamilah merasa tak terima dirinya akan menua secepat itu. Setelah semua ketenaran diperoleh, tentu ia tak ingin melepaskannya begitu saja. Ia terus mencari cara agar tetap eksis di panggung hiburan. 


Mendadak ia ingat masa lalu, masa yang amat kelam ketika hanya cacian dan hinaan yang mewarnai hari-harinya. 


Jamilah anak dari keluarga yang miskin. Ia hidup di tepi hutan dan jauh dari peradaban. Tiap kali ada hajatan, selalu terdengar musik koplo berdentam-dentam. Orang-orang suka musik. Begitu juga dengan Jamilah. Dari jauh ia amati artis yang bergoyang di atas panggung sambil menunggu emaknya selesai kondangan. Ia tak pernah tergiur akan jajanan atau mainan yang dijual di sekitar lokasi hajatan. Yang ingin dilihatnya hanya perempuan seksi yang bernyanyi sambil bergoyang. Diam-diam Jamilah pun ikut bernyanyi. Ia ingin jadi penyanyi. 


Jadi penyanyi itu harus punya wajah cantik, tubuh yang mulus, dan kulit putih agar tetap jadi lirikan juragan orkes. Jamilah ciut nyali ketika melihat gambar dirinya yang dekil, burik, dan miskin. Mana ada orang yang mau menyewa jasanya kalau penampilannya saja tak mengundang selera. Akan tetapi, Jamilah tetap belajar menyanyi lewat radio yang diputar sambil mengayam tikar pandan di gubuknya. 


Hingga suatu hari, di kampung tempatnya tinggal, Pak Lurah mengadakan lomba nyanyi untuk menyemarakkan acara khitan anak perjakanya. Mendengar kabar itu, Jamilah pun tertarik untuk ikut serta. Orang-orang seketika mencibir penampilan Jamilah yang culun dan seketika berprasangka buruk terhadap suaranya. 


"Orang pedalaman seperti Jamilah itu apa bisa nyanyi?" umpat seseorang.


"Nggak tau malu, tuh!"


Jamilah bungkam meski hatinya pedih. Ia hanya bisa membuktikannya dengan bakat yang dimiliki berupa suara yang merdu. Para penonton melongo. Saingannya jadi minder. Jamilah jadi juara satu. Ketua orkes sekecamatan langsung melirik Jamilah sebagai penyanyi tetap yang akan menggantikan salah satu artisnya yang pensiun. Namun, Jamilah masih terlalu muda. Usianya baru empat belas. Secara suara, Jamilah tak ada duanya. Namun, secara penampilan, Jamilah belum punya nilai jual. Jadi, Jamilah hanya jadi penyanyi cadangan di belakang panggung.


Lambat laun, Jamilah mulai menunjukkan kemolekannya. Ia belajar merias wajahnya, merawat kulitnya, dan menjadikan buah dadanya sebagai salah satu kebanggaannya. 


Jamilah menari dan menyanyi dari panggung ke panggung. Sedikit demi sedikit uang ia kumpulkan untuk menambah cantik wajahnya, menambah kenyal buah dadanya, dan menambah sintal pantatnya. 


Makin tahun saingan pun makin bertambah. Banyak biduan baru yang bisa jadi ancaman bagi Jamilah. Terlebih, kini usianya sudah tak muda lagi. Tubuhnya kian rapuh. Pula sudah puluhan laki-laki yang mencicipi kemolekannya. Asalkan mereka mau membayar untuk mempercantik wajah dan seluruh tubuhnya, Jamilah dengan senang hati mengiyakan. 


Yang perlu dilakukannya hanya terus mempercantik diri agar para penonton tetap melongo ketika melihatnya joged di atas panggung. Agar orang-orang tetap memuji wajah cantiknya, mata birunya, dagu runcingnya, dan buah dada ranum, serta pantat montoknya. 


Jamilah bergegas mengemas barang-barang dan segera meninggalkan konser yang belum usai. Riuh sorak-sorai penonton yang minta goyangannya kembali di atas panggung tak digubrisnya. 


"Nitip salam buat Bos, ya, Say. Aku pulang dulu," ucap Jamilah kepada tukang rias itu setelah cupika-cupiki. Jamilah melangkah panjang-panjang.


Alih-alih pulang ke rumah, Jamilah malah menuju ke sebuah kampung yang sepi. Jamilah tahu ke mana ia harus pergi untuk mempercantik diri tanpa harus mengeluarkan uang. Ia tak mungkin tinggal diam melihat kantung mata yang besar dan pipinya yang mulai kendor. Ia harus terus bergoyang di panggung, menjadi ratu koplo yang terus disegani dan dipuji. Ia tak ingin digantikan. Ia tak ingin popularitasnya meredup. Ia ingin terus jadi yang nomor satu. 


"Permisi?" ucap Jamilah lirih sambil perlahan mengetuk pintu. Pandangannya mengedar ke kanan dan kiri seolah-olah takut ada orang yang mungkin tahu. 


Kini, Jamilah berdiri di sebuah rumah kecil yang terpencil. Motor matic-nya terparkir di belakangnya. Bagian dadanya yang semula menyembul ditutupi dengan jaket hitam. Lalu, seorang lelaki membuka pintu dan Jamilah bergegas masuk. 


"Jadi pasang susuknya?" tanya lelaki itu. 


"Iya, Mas. Jadi. Aku pengen tetep cantik dan tenar, Mas. Tolong, ya?"


"Gampang! Kamu tahu, kan, apa yang harus kamu lakukan?"


Malam akan terasa lebih panjang dari biasanya. Jamilah mengangguk. Toh, memang tubuhnya sudah terbiasa menjadi santapan lelaki sebagai bayaran atas apa yang akan diperolehnya.[]


Tanggamus, 18 Mei 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)