Cerita Mini: PENGHUJUNG MALAM PERTUNANGAN


Hawa dingin menusuk, membekukan tanah gersang yang merindukan kedamaian malam. Separuh belahan bumi telah ditutupi oleh gelap sempurna, menandakan bahwa segala kesibukan yang membuat jiwa larut dalam kesesatan harus disudahi. Kini, saatnya malam unjuk diri untuk memperlihatkan segala rahasia dan teka-tekinya.

Di sela remang cahaya bulan, terlihat dua orang dengan langkah waspada menapak jalan tanah berbatu. Sesekali mata nyalang mereka melirik ke kanan dan kiri, menatap, dan mengawasi siapa pun yang mungkin akan menghentikan langkah mereka. Tanpa rasa takut yang tersirat, mereka terus melangkah menuju tempat yang tidak mungkin dijamah pada malam hari. Di pagi atau siang hari pun tempat itu hanya dijamah pada waktu-waktu tertentu saja. Tempat itu sungguh dingin dan sepi.

Dua bayang tubuh gagah dan gemulai sirna ditelan malam yang makin eksotis. Seketika, derap langkah berdebam berhenti di depan pintu gerbang tanah permakaman.

Gerbang besi hitam berkarat berhias relief bunga-bunga melati mereka dorong perlahan. Mereka masuk tanpa salam penghormatan atas penghuni kuburan. Terdengar bunyi berdecit pelan, lalu menggema dipantulkan oleh keheningan.

Setiap nisan yang timbul di atas gundukan tanah bertuliskan nama si empunya. Wanita muda itu sibuk mencari nisan dengan nama yang ia maksud, sedangkan lelaki tua gagah itu hanya berdiri memerhatikan hamparan tanah menggunung berisi jasad yang membusuk.

“Ini, Mbah, makamnya,” ucap wanita itu. Ia menunjuk sebuah makam tanpa nisan yang masih basah tanahnya. Makam itu terletak di bawah pohon bunga kamboja yang rimbun daunnya, menyendiri, agak jauh dari makam-makam yang lain.

“Hmmm,” gumam lelaki itu.

“Cepat nyalakan lilin dan bacakan mantra yang telah aku ajarkan!” perintahnya.

Tanpa berucap, wanita itu lekas menyulut lima buah lilin dan meletakkannya di sekitar pusara. Bibir merah seranum apel komat-kamit membaca mantra. Di tengah gumam mantra yang melantun, lelaki itu segera mengambil alih pekerjaan menggunakan cangkul berlapis keberanian sekuat baja. Inci demi inci tanah diangkut ke atas, dalam, dan semakin dalam.

Dengan nafas terengah-engah, ia mengangkat jasad berbalut mori yang masih segar dari kedalaman tanah kuburan. Namun, tunggu! Mengapa jantung di balik kain putih itu masih berdetak? Masih hidup?

“Maaf, Sayang. Aku terlalu mencintaimu. Aku tak rela jika kau dijodohkan dengan wanita lain,” bisik wanita muda sambil mengusap pipi pucat jasad yang masih berdetak jantungnya.

“Maaf, Sayang. Obat tidur yang aku campur dengan kopi itu terlalu banyak, tapi kau tenang saja. Kau akan segera sadar dan kita akan segera bahagia bersama,” sambungnya.

Permakaman kembali sepi, hanya tersisa mendung dan kilat sinar petir yang memotret kisah muda-mudi di penghujung malam.

Tanggamus, 08 Juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: RINDU MENGAJARKANKU

Cerpen: BINTANG

Sepanjang Pesisir Tanggamus (1), Sepanjang Pesisir Tanggamus (2)