Cerpen: TUAH BERTULAH
Cerpen oleh Firman
“Tolonglah Pak. Beri saya
waktu satu bulan lagi. Saya janji akan segera melunasi semua hutang saya,” pinta Juminem.
“Halah,
bohong! Selalu saja janji, janji dan janji! Sudahlah! Ayo ambil
barang-barangnya!” suruh Lelaki kasar berbadan gempal kepada anak buahnya.
“Pak
jangan, Pak! Tolonglah, Pak!” Juminem berusaha mencegah orang-orang itu, namun
usahanya sia-sia. Semua barang diangkut untuk melunasi hutang-hutangnya.
***
“Pak,
saya sudah tidak kuat lagi,” ucap Juminem kepada suaminya.
“Saya
nggak kuat hidup dalam kesusahan terus,” sambungnya sambil menangis
tersedu-sedu.
“Ya yang sabar, Buk! Pasti nanti
ada jalannya,” ucap Pak Karyo, suaminya.
“Ya tapi kapan, Pak! Anak kita
sebentar lagi masuk sekolah dan kita belum punya apa-apa! Lelah, Pak!”
“…,” Pak Karyo hanya bisa
terdiam sambil meremat kain hitam yang ada di samping bantalnya. Semenjak suaminya sakit, Juminem harus bekerja keras untuk menghidupi
keluarganya. Kecelakaan yang merenggut
kakinya hingga lumpuh, membuat Pak Karyo tidak bisa bekerja lagi. Pendapatan
Juminem sebagai pembantu rumah tangga tak bisa memenuhi semua kebutuhan hidup
keluarganya. Tiada pilihan lain selain berhutang. Tak jarang para rentenir datang mengerumuni rumahnya untuk menagih hutang
yang telah menggunung.
“Jum, ini ada sesuatu,” ucap
Pak Karyo sambil menyodorkan kain hitam.
“Apa ini, Pak?”
“Dibuka, Jum,” jawab Pak
Karyo.
“Astaghfirullah! Pak, i—ni kan…”
***
Apakah benar ini alamatnya? gumam
Juminem dalam hatinya sambil memandangi gubuk reot di ujung jalan. Gubuk
berdinding anyaman bambu yang ditopang kayu. Jendela yang ditutup kain berwarna
merah muda sedikit terbuka, memperlihatkan suasana gelap di dalam rumah yang
melebihi malam. Sudah tidak ada lagi rumah di sini selain gubuk reot yang
terletak di ujung Kampung Rambutan ini. Bentuk rumah ini persis seperti yang
digambarkan oleh suamiku, obor minyak, kursi bambu, canting beras. Ya,
ini benar, gumamnya dalam hati sambil sesekali memperhatikan alamat yang
dipegangnya dalam secarik kertas.
Dengan perasaan takut
bercampur penasaran, ia perlahan mendekat dan mengetuk daun pintu rumah itu.
“Tok! Tok! Tok! Permisi, Nyai.”
“Ekhm…,” dari dalam terdengar
suara wanita mendeham.
“Cuih!”
“Krrrkkk…,” suara gesekan daun
pintu yang telah lapuk.
“Iya, Cah Ayu,” jawab wanita
tua sambil menyeruak pintu.
Aura Wanita tua itu masih
segar walau usianya yang hampir seabad. Kebaya hitam bunga-bunga dengan sarung
bermotif burung phoenix menambah eksotis penampilannya. Mata cekungnya menatap
Jum tajam, seolah-olah menghipnotis dan menariknya ke dalam dunia lain. Aliran
merah yang menetes hingga kedagu, sontak mamembuat Jum menutup rapat-rapat kedua
lubang hidungnya.
“Kenapa, Nduk?” tanya wanita
tua itu.
“Maaf Nyai. Saya tidak terlalu
suka dengan aroma sirih,” jawab Jum.
“Hmm… Masuklah, Nduk!”
“Terimakasih, Nyai.”
Semerbak melati dan kenanga menyeruak
seisi gubuk yang hanya diterangi oleh obor minyak. Perutnya langsung mual. Ia
tidak suka dengan wangi-wangian.
“Berikan cincin itu!” pinta
Wanita tua itu.
Deg! Jum kaget dengan ekspresi
kebingungan dan mata yang membelalak. Wanita ini telah mengetahui niatnya. Lantas
ia menyodorkan cincin giok berwarna hitam kepada Wanita itu.
“Suamimu itu memang ceroboh!
Untung dia tidak mati!” sentak Wanita tua itu sambil menggebrak meja. Tumpukan
keriput yang meggelayut di wajahnya bergoyang hebat. Jum hanya bisa mematung dan
perlahan membersihkan bercak merah sirih yang menempel di pipinya.
“Apakah kamu yakin ingin
melakukannya, Nduk?” tanya Wanita tua itu.
“Saya sudah bosan hidup susah
Nyai. Saya ingin mengubah hidup saya. Saya tidak kuat menjalani hidup dengan
bayang-bayang hutang rentenir,” rintih Juminem kepada Wanita tua itu.
“Baik, tapi harus ada
syaratnya.”
“Apa itu, Nyai? Saya akan
melakukan apapun itu asalkan hidup saya bisa berubah.”
“Darah!!!”
“…,” Jum terbelalak kaget.
“J—adi saya harus membunuh?”
“Terserah! Tapi ingat, jangan
sampai lewat tanggal lima belas atau kau sendiri yang akan menerima tulahnya. Seperti
suamimu!” jelas Wanita itu.
“Hati-hati! Batu itu sangat
peka terhadap perasaan si pengguna!” sambungnya.
“I—ya Nyai”
***
Pagi-pagi sekali Juminem berlari
menuju rumah majikannya dengan nafas yang terengah-engah. Sial! Aku
kesiangan. Bu Lastri, majikannya telah lama menunggu Jum di depan rumahnya
dengan raut wajah kesal dan tangan yang angkuh melintang di dada.
“Jum! Jam berapa ini!” murka
Bu Lastri sambil menunjuk jam emasnya yang berkilau.
“Maaf Bu, saya kesiangan.”
“Kebiasaan! Sudah, masak sana!”
“I—ya, Bu”
Andai saja kemarin malam aku
nggak nyasar ke kebun sawit, pasti aku tak mungkin terlambat dan tak mungkin
pula wanita sombong yang hedonis itu memarahiku. Cih! Ya, tapi tak apa, hidupku
sebentar lagi berubah. Awas kau, Lastri! gumam Juminem dengan mata
mendelik sambil mengelus-elus batu gioknya.
Hari itu Jum pulang lebih awal
dengan menenteng beberapa makanan untuk suami dan putri kecilnya. Bu Lastri
mengizinkannya pulang lebih awal karena ia akan pergi keluar kota untuk
beberapa hari.
“Buk!” ucap Pak Karyo dengan
wajah cemas dan tangan bergetar.
“Kenapa, Pak?”
“I—ni, Buk.”
“Haah!!!”Juminem terperangah
melihat tumpukan rupiah di samping ranjangnya.
“Dari mana ini, Pak?” tanya
Jum dengan penuh penasaran. Wajar saja, Juminem yang terbiasa hidup dalam
kemiskinan tak pernah sekali pun melihat uang sebanyak itu. Pak Karyo terbungkan
tanpa kata karena ia juga tidak mengetahui asal muasal uang itu. Uang itu
tergeletak seperti ada yang sengaja melemparnya. Tanpa pikir panjang, Juminem
mengambil uang itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Kita kaya, Pak.”
***
Mobil ambulan mendendangkan elegi
di langit sore Kampung Duren, desa kecil yang padat penduduk. Warga ramai-ramai
berdatangan mengerumuni rumah Bu Lastri.
“Hey, ada apa kok ramai-ramai
begini?” tanya Juminem pada seseorang yang berlari menuju rumah Bu Lastri.
“Lho, kamu nggak tau? Bu
Lastri kecelakaan,” jawab orang itu.
“…,” mulut Jum menganga sambil
melirik ke Pak Karyo.
“Ayo kesana!” ajak orang itu.
Jum masih terperangah tak
percaya seraya memandangi batu giok hitamnya. Apakah seperti ini cara
kerjanya? Jadi, A—ku membunuh? batin Jum bertanya-tanya. Tidak, ini
hanya kebetulan. Lagi pula ini belum tanggal lima belas.
Setelah kejadian itu, Jum
tidak lagi bekerja di sana. Dia membuka warung kecil-kecilan dengan uang yang
ia peroleh waktu itu. Sisanya ia gunakan untuk melunasi hutang yang masih terbengkalai.
Perlahan rumahnya dipenuhi dengan perkakas mewah. Perhiasan mulai melekat di sela
jemarinya. Banyak orang yang mempertanyakan tentang barang mewah yang ia
peroleh. Pasalnya omset dari usahanya tak mungkin bisa sebanyak itu. Mungkin
itu hanyalah kedok untuk menutupi kebenarannya.
***
“Buk, boleh pesan pecelnya?”
tanya seorang wanita kepada Jum.
“Iya boleh,” sapa Jum dengan
senyum manis.
Raut wajahnya berubah muram
ketika ia menyadari bahwa wanita itu datang dengan Ustadz Sobri, mantan
kekasihnya. Menatap wajahnya seperti mengorek luka lama.
Sobri, teganya kau menolak
cintaku. Apakah aku kurang cantik di matamu? Kita akan telah bahagia jika saja aku…
“Bu,” tegur wanita itu.
“I—ya, maaf.” Jum terbangun
dari lamunannnya dan segera meracik pesanan wanita itu.
Aku tidak rela Sobri. Ya,
malam nanti adalah malam kelima belas. Purnama akan tampak terang di atas
langit malam. Kau akan menjadi mangsaku. Maaf Sobri, jika aku
tidak bisa, maka lebih baik kau enyah dari sini hingga tiada seorang pun yang
bisa memilikimu, gumam Jum sambil menggerus bumbu-bumbu di atas cobek
dengan penuh amarah.
***
“Pak, dadaku kok terasa panas
ya?” keluh Jum kepada suaminya.
“Tadi sore nggak mandi ya?
Mandi sana!” ujar Pak Karyo sambil memencet batang hidungnya.
“Eh, Sembarangan! Jelek-jelek
gini aku rajin, Pak!” elak Juminem.
Mentari bersinar terang siang
tadi. Tak ayal Jum merasa kepanasan. Ia mendinginkan badannya dengan segelas
air es. Badannya terasa lebih segar dan sejuk. Panas yang mendera dadanya kini
telah hilang. Namun, seketika itu pula badannya terasa gatal dengan bintik-bintik
mungil yang tersebar rata di sekujur tubuhnya.
“Bagaimana ini, Pak!” tanya
Juminem kepada suaminya sambil menggaruk-garuk tangan.
“…,” Pak Karyo bungkam, tak
tahu harus berkata apa. Mata Pak Karyo di penuhi ketakutan saat memandang Jum
merintih kesakitan.
“Apakah ini...”
“Ah, sial!’
Juminem yang sudah tak tahan
lagi segera menyeruak pintu dan pergi menemui Nyai Dasimah dengan motor barunya
untuk meminta pertolongan. Dengan kondisi tubuhnya yang selalu minta digaruk, Jum
kehilangan fokus pada jalan yang ada di hadapan matanya. Sebuah truk besar yang
ada di depannya ia hantam hingga badannya terpental ke dasar jurang.
Agaknya tenung yang ia tujukan
pada Ustadz Sobri malam itu berbalik pada dirinya sendiri. Ia melakukan hal
yang sama seperti suaminya yang dendam dengan Haji Somad, ayah Ustadz Sobri. Beruntung
nasib baik masih memihak pada Pak Karyo. Ketinggian dan pemahaman mereka terhadap
ilmu agama membuat mereka terlindung dari hal-hal semacam itu. Kurma azwa dan
daun bidara yang rutin mereka konsumsi menjadi lantaran terhalangnya segala
bentuk sihir. Juminem yang malang menjadi korbannya sendiri atas dendamnya pada
kemiskinan.
Tanggamus, 29 Maret 2020.
Komentar
Posting Komentar
Mohon maaf jika ada salah kata, kritik dan saran selalu saya domba.